Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 Oct 2019
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 22 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 21 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 20 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 Nov 2017
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 13 May 2016
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 28 Apr 2016
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 06 Aug 2015
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 30 Mar 2017
Oleh Putri Ayu Ningrat 27 Mar 2017
Oleh Dewi Kartika Rahmayanti 27 Mar 2017
Oleh Nurhidayat 27 Mar 2017
Oleh Virgorini Dwi Fatayati 27 Mar 2017
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 24 Jul 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 09 Jul 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 05 Jun 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 11 May 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 May 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 05 Nov 2015
Oleh Sofi Mahfudz 18 Oct 2015
Oleh Nutrisi Bangsa 20 Jan 2015
Oleh Nutrisi Bangsa 11 Nov 2014
Oleh Nutrisi Bangsa 14 Jul 2014
Tanya Ahli
Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.
Gudeg, Perjalanan Lima Ratus Tahun dari Alas Mentaok hingga Penjuru Dunia
Oleh Ling Ling 15 Oct 2015
Ada yang pernah makan gudeg? Sebagai anak kelahiran Jogja, saya sudah khatam dengan rasa Gudeg. Bukan melebih-lebihkan, karena Gudeg memang makanan pagi, siang dan malam bagi masyarakat Jogja. Makanan berbahan dasar nangka muda yang dimasak dengan santan ini adalah kuliner terkenal dari Jogja, sepopuler Malioboro atau Kraton itu sendiri. Gudeg disajikan bersama kuah areh, sambal krecek (kerupuk kulit sapi), ayam opor, tempe/tahu bacem serta telur bebek pindang. Gudeg sangat nikmat jika dimasak dalam kuali tanah di atas api kayu bakar. Panas yang merata dan stabil membuat bumbu rempah meresap ke dalam daging buah nangka.
Gudeg dan Bumbu Penyusun (Sumber : Ruang Budaya )
Meski berbahan seadanya dari alam, ternyata banyak sekali manfaat yang terkandung dari makanan Gudeg ini. Bahan utama nangka memiliki kandungan serat yang baik untuk mengobati sakit sembelit. Gula sederhana (fruktosa) yang ada dalam nangka dapat langsung disintesis menjadi energi oleh tubuh kita. Tak hanya itu, serat nangka juga dapat menghalau zat karsinogen (penyebab kanker) di dalam usus besar. Selain bahan nangka muda, Gudeg juga bisa dibuat dari manggar (putik buah kelapa). Menurut salah seorang pakar kecantikan jawa, Ibu Mooryati Soedibyo bahan manggar dipercaya dapat memunculkan kecantikan luar dan dalam atau klimis (dalam istilah Jawa).
Bicara tentang sejarah Gudeg, seolah kita akan menelusuri lorong waktu. Ada versi cerita tutur yang menceritakan gudeg berasal sejak jaman pendirian kerajaan Mataram Islam pada tahun 1500-an. Jadi saat prajurit sedang babad alas Mentaok, mereka bertahan hidup dengan makanan seadanya dari tanaman hutan. Suatu ketika mereka mencoba campuran nangka muda dan santan kelapa. Namun karena kelelahan, masakan kelamaan dipanaskan di atas tungku hingga teksturnya menjadi sangat empuk. Tak disangka hal itu justru memunculkan cita rasa enak yang kita kenal sebagai rasa Gudeg sekarang. Tiga ratus tahun kemudian, dalam babad Serat Cethini (1820-1823) nama gudeg dituliskan sebagai salah satu sajian makanan khas budaya Jawa yang akan diberikan kepada tetamu yang datang ke rumah. Sajian tetamu terdiri dari makanan pokok, sayur (jangan), minuman dan aneka buah. Gudeg disebut sebagai salah satu contoh jangan bersama dengan jangan asem kalenthang, jangan gori, dan jangan kluwih.
Gudeg Manggar tersedia setiap akhir pekan di Kopi Tiam Oey Jogja (Sumber : Pemilik KTO Jogja)
Sebagai penguat bahwa gudeg sudah ada sejak jaman Mataram Islam adalah cerita dari nenek saya yang berasal dari Bantul. Beliau pernah bercerita soal Gudeg Manggar, yang ternyata ini adalah makanan simbol perlawanan rakyat di bawah kepemimpinan Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Mangir adalah tanah perdikan yang sudah ada sebelum kerajaan Mataram berdiri. Meskipun sama-sama keturunan Prabu Brawijaya V, karena merasa lebih dahulu berada di tempat itu makanya beliau enggan tunduk pada kekuasaan Panembahan Senopati. Jika Mataram memakai nangka muda sebagai bahan gudeg, maka Mangir ‘melawan’ dengan memakai manggar sebagai bahan Gudeg. Gudeg Manggar sekarang bisa dijumpai di Yogyakarta, meskipun konon Gudeg Manggar dari daerah Mangiran tetaplah juaranya.
Lima ratus tahun kemudian Gudeg menjadi terkenal sebagai makanan khas di bekas kerajaan Mataram Islam, kota Jogja. Para legenda Gudeg di kota ini menyajikan cita rasa Gudeg yang memuaskan selera para penikmat kuliner. Di utara kampus UGM yang kini disebut sebagai sentra kuliner Gudeg terdapat Gudeg Bu Amad yang mengusung rasa manis asli khas Jogja, manisnya ini didapat dari paduan gula kelapa di dalam ramuan masakan Gudeg. Tepat dibelakangnya, ada Gudeg Yu Djum yang bertempat di rumah tua dengan hiburan musik keroncong, membuat suasana seolah terlempar ke dekade 80-an.
Mari berkeliling Gudeg di Jogja (Sumber : Bu Amad, Gudeg Permata, Gudeg Yu Djum, Gudeg Janturan)
Bagi yang suka rasa gurih bisa mencoba Gudeg Permata, yang terletak di dekat bekas bioskop “Permata” yang pernah berjaya tahun 80-an. Selemparan batu dari Gudeg Permata, ada Gudeg Janturan yang buka mulai jam 11 malam dengan ciri khas berjualannya di dapur berjelaga hitam. Pernah mendengar Gudeg Bu Tjitro, yang menjual Gudeg sejak tahun 1925? Generasi penerusnya kini membuka outlet di depan bandara Adisucipto Yogyakarta. Yang terakhir, bila kamu ingin menikmati deretan warung Gudeg yang berada di lingkungan Kraton bisa mampir ke daerah Plengkung Wijilan, lokasinya ada di wilayah timur keraton yang merupakan pelopor Gudeg modern di Jogja.
Melalui pariwisata Jogja, Gudeg ikut dikenal luas di dunia. Sayangnya karakter gudeg yang mudah basi, membuatnya tidak bisa dijadikan oleh-oleh jarak jauh. Gudeg kendil (tembikar tanah) atau besek (anyaman bambu) yang biasa menjadi kemasan Gudeg hanya mampu membuat Gudeg bertahan 2-3 hari saja. Namun kini penggemar Gudeg tidak perlu risau lagi karena sudah ada Gudeg kalengan yang memungkinkan Gudeg menyebar ke seluruh dunia karena bisa bertahan hingga satu tahun lamanya. Di Jogja sendiri ada Gudeg Bu Tjitro, Gudeg Bu Lies dan Gudeg Mbak Yayah sebagai pelopornya. Kebetulan pemilik Gudeg Mbak Yayah ini teman saya sendiri, Chumairo Ibnatul Arobiyah, yang menurut pengakuannya ada yang membawa gudeg kaleng sampai ke Arab untuk naik haji, ada pula yang pernah membawa sampai Jerman dan Belanda. Gudeg kalengan Bu Tjitro bahkan sudah sampai ke Jepang dan Amerika.
Gudeg memang bukan hanya sebuah resep kuno nangka muda bercampur santan, atau simbolisasi perlawanan Ki Ageng Mangir dengan Gudeg manggar-nya. Lebih dari itu, Gudeg adalah tradisi tentang nilai kesederhanaan orang Jawa yang memanfaatkan bahan alam, dibumbui kesabaran dan ketekunan (memasaknya yang butuh waktu berjam-jam), sekaligus membuktikan (sekali lagi) tentang kemampuannya beradaptasi melintasi zaman dan kini bisa dinikmati di seluruh dunia. Gudeg mendunia tidak harus dengan membuka lesehan di trotoar Tokyo atau New York, bisa dengan kemasan kaleng modern yang menyajikan bahan dari alam Indonesia yang diracik tangan simbok-simbok di pojokan Pasar Beringharjo.
Inovasi Gudeg Kaleng sebagai jawaban agar Gudeg mendunia (Sumber : Pemilik Gudeg Yayah)
Lima ratus tahun lebih, gudeg ada dalam budaya Jawa merupakan catatan panjang yang tak terbantahkan bahwa gudeg adalah kuliner penyintas zaman, hadir dan bertahan setua peradaban budaya manusia itu sendiri.
————————————————
Tulisan ini diikutsertakan dalam rangka memeriahkan blog competition yang diadakan oleh Sari Husada yang berjudul Jelajah Gizi 2015