Banyak pencerahan soal pangan yang saya peroleh dari Jelajah Gizi Bali selama tiga hari tersebut. Kalau teman-teman pernah membaca artikel saya soal Jelajah Gizi sebelumnya, mungkin heran kok jadinya ke Bali dan bukan ke Padang? Memang kegiatan ini pindah tujuan karena Padang sempat diselimuti kabut asap. Kabut asap ini memang bikin kacau banyak kegiatan ya? *senyumgetir
Begitu sampai di bandara I Gusti Ngurah Rai, tujuan pertama Jelajah Gizi Bali adalah… Shalat Jum’at! Ini bukti bahwa kecukupan gizi harus seimbang antara jasmani dan rohani. Bukan begitu?
Bali Pulina Agro Tourism
Kami langsung menuju Bali Pulina di Tegalalang, Kabupaten Gianyar, tempat agro wisata yang memperkenalkan kopi luwak dan beragam minuman lain pada pengunjungnya. Begitu masuk ke lokasi, kami menyusuri jalan setapak naik turun menuju kandang luwak. Dua ekor luwak tampak bermain di dua kandang terpisah, biji kopi segar berwarna merah-hijau ada di sudut kandang sementara biji kopi yang telah melalui jalur pencernaan luwak berada di sudut kandang lainnya.
Staf Pulina dengan fasih menjelaskan bahwa mereka hanya menggunakan kopi arabika terbaik untuk diberikan pada luwak-luwak di sini. Katanya lagi, luwak-luwak ini tidak selamanya dikandangkan, kadang mereka dilepas di kebun kopi tak jauh dari tempat ini. Ketika dikandangkan pun mereka juga dikasih makan buah-buahan lain, buka kopi melulu, agar tidak jenuh. Saya sebenarnya suka kasihan melihat satwa liar yang dikandangkan demi memenuhi kebutuhan manusia. Semoga luwak-luwak ini tetap bahagia.
Prof. Ahmad Sulaeman, seorang ahli gizi, menjelaskan bahwa minum kopi bisa bermanfaat karena mengandung riboflavin, mangan dan kalium, asal diminum dalam takaran yang pas. Beliau menambahkan, kopi luwak asli tidak terlalu asam sehingga aman buat lambung. Di Pulina pengunjung bisa menikmati secangkir kecil kopi luwak dengan harga Rp 50.000,-, sementara biji kopinya dijual seharga Rp 4.000.000,-/kilogram. Lumayan ya?
Pendopo tempat minum kopi dengan pemandangan cantik.
Desa Adat Panglipuran
DESA INI CANTIK BANGET! Kesan pertama yang muncul ketika melangkahkan kaki masuk ke Panglipuran adalah sebuah desa yang teduh, teratur dan nyaman. Deretan rumah dengan arsitektur khas Bali tertata rapi di sisi kanan-kiri jalan dari bebatuan. Layaknya rumah Bali, gapura-gapura lancip berderet dengan penomoran teratur. Warga desa menyambut pengunjung dengan ramah, sebagian menawarkan rumahnya sebagai home-stay bila mau menginap. Ada juga rumah yang disulap menjadi warung tanpa meninggalkan bentuk aslinya, jadi tetap harmonis dengan keseluruhan fasad desa ini.
Desa Panglipuran terbilang unik karena dihuni oleh keturunan orang Bali Aga atau Bali asli yang sudah ada di pulau ini sebelum orang-orang Majapahit dari pulau Jawa datang. Di desa ini tempat ibadah warganya berada di sisi selatan setiap rumah, mengarah ke Gunung Batur. Kami masuk di rumah nomor 21. Konon mereka bergiliran menerima wisatawan yang berminat melihat-lihat rumah asli Bali dan akan dengan ramah menjelaskan segala hal tentan desanya.
Begitu masuk gerbang rumah nomor 21, kami disambut dengan welcome drink dalam gelas kecil, cairan berwarna hijau muda. Saya cicipi dengan segenap jiwa dan raga… sebuah rasa yang familiar sekaligus asing membelai lidah saya… Rasanya mirip jus kedondong dengan sedikit kiamboi! Ternyata minuman bernama Loloh Cemcem ini adalah jamu penambah stamina! Dibuat dari bahan utama daun cem-cem, plus gula aren, sedikit kelapa muda, air dan sedikit garam, Loloh Cemcem kini dijual botolan sebagai jamu yang khasiatnya sudah populer di Bali.
.
Belajar Masak Di Paon Bali
Hari sudah malam ketika kami sampai di Paon Bali, sebuah rumah makan di Ubud. Ibu Puspa, sang pemilik rumah makan menyambut kami dengan ramah, menggiring kami ke bagian belakang tempat meja panjang sudah siap untuk demo masak. Kami ditantang untuk memasak sendiri makan malam kami! AHA!!!
Menu yang kami masak ternyata haruslah khas Bali, sate lilit dan lawar putih. Waduuuh… Mana bisa saya bikin sate lilit? Pas dapet tantangan masak ini, saya hampir menyerah dan memilih puasa aja deh… Skip makan malam dari pada mesti bikin sate lilit dari daging ayam. Eh, ternyata setelah melihat demo Ibu Puspa, tidak sesulit itu membuatnya. Bahkan Ariev Rahman aja bisa masaknya! Yah, kalau Ariev sih pasti tangannya sudah terlatih meremas daging yaaa…. Resepnya akan saya tulis di blog post berikut.
Ada juga Chef Muto yang demo bikin Es Kuwud dengan bahan selasih, melon dan jeruk nipis. Nah, setelah melihat dia masak, saya jadi mikir, Om Muto ini chef atau kungfu master ya? Tangannya lincah banget junggling pisau, garpu, spatula dan segala alat masak lain!! Saya menunggu-nunggu kapan dia juggling tabung gas…
Jelajah Gizi Bali bersama Sari Husada di hari pertama usai sudah, kami bergerak ke penginapan di Grand Sunti, Ubud. Perjalanan hari ini membuat saya mengapresiasi kuliner lokal lebih dari sekedar ‘maknyus’. Saya jadi makin bangga dengan kekayaan kuliner dan rempah Indonesia.
Ternyata setiap daerah punya potensi ragam makanan dengan kandungan gizi yang saling melengkapi. Misalnya, kelapa ditemukan nyaris dalam semua resep makanan Bali, baik itu parutan, irisan kelapa segar, hingga dalam bentuk santan atau minyak kelapa. Kelapa yang gurih jadi enak sekali bila dipadukan dengan kacang panjang menjadi lawar putih, hidangan populer Bali yang saya suka. Kuncinya adalah memadukan apa saja bahan pangan lokal yang ada di satu daerah. Prinsipnya, mengutip seorang chef ternama, ‘If they grow together, they go together.’ Jadi, kamu pengin saya masakin apa?