Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 Oct 2019
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 22 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 21 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 20 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 Nov 2017
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 13 May 2016
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 28 Apr 2016
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 06 Aug 2015
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 30 Mar 2017
Oleh Putri Ayu Ningrat 27 Mar 2017
Oleh Dewi Kartika Rahmayanti 27 Mar 2017
Oleh Nurhidayat 27 Mar 2017
Oleh Virgorini Dwi Fatayati 27 Mar 2017
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 24 Jul 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 09 Jul 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 05 Jun 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 11 May 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 May 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 05 Nov 2015
Oleh Sofi Mahfudz 18 Oct 2015
Oleh Nutrisi Bangsa 20 Jan 2015
Oleh Nutrisi Bangsa 11 Nov 2014
Oleh Nutrisi Bangsa 14 Jul 2014
Tanya Ahli
Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.
Nikmatnya Hidangan Bakar Batu Wamena
Oleh Rachmat Willy 05 Oct 2012
Tinggal menetap selama 6 tahun (sejak tahun 2006) di Wamena Papua sebelum akhirnya pindah ke Surabaya membuat saya merindu satu masakan khas Wamena. Namanya bakar batu. Sebenarnya saya masih agak bingung apa ini bisa disebut jenis masakan atau teknik memasak. Yang pasti kami biasa menyebutnya “makan bakar batu” ketika masih di Wamena.
Apa itu “bakar batu”? Bakar batu ialah masakan yang dibuat dengan menggunakan batu panas. Batu panas inilah yang sebenarnya menjadi asal nama dari “makan bakar batu” ini. Batu-batu dikumpulkan dalam satu petak. Kemudian dibakar menggunakan kayu api selama beberapa jam. Hasilnya, ya batu panas tadi. Sambil menunggu batu-batu tersebut panas, biasanya para laki-laki membuat lubang di tanah dengan diameter sekitar setengah meter atau lebih (kadang bisa sampai satu meter, tergantung berapa banyak bahan yang akan dimasak) dan kedalaman setengah meter atau lebih juga. Lubang-lubang tersebut kemudian dilapisi dengan rumput atau alang-alang yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sambil menunggu batu-batu panas juga, dipersiapkan segala bahan yang akan dimasukkan ke dalam lubang bersama dengan batu-batu panas. Bahan-bahan yang dipersiapkan biasanya adalah daging (biasanya masyarakat Wamena menggunakan daging babi, ayam, atau kelinci), sayur-sayuran (biasanya daun hipere/ daun ubi jalar) segala jenis, hipere/ ubi jalar, dan kalau ada ditambah dengan jagung. Dengan perkembangan jaman, kadangkala di beberapa daerah bisa ditemukan juga ada tambahan ikan (ikan mujair atau ikan mas) tergantung ketersediaan di wilayah tersebut.
Setelah semua bahan siap dan batu-batu sudah panas, kaum lelaki akan memindahkan satu per satu batu-batu panas ke dalam lubang yang telah disiapkan. Batu-batu panas dimasukkan ke dalam lubang yang telah dilapisi alang-alang. Kemudian dilapisi lagi dengan sayur-sayuran, kemudian daging-dagingan biasanya menempati tempat paling bawah, diselingi dengan hipere, kemudian dilapisi lagi dengan sayuran, batu-batu panas lagi, dilapisi lagi dengan sayuran, diselingi lagi dengan hipere , jagung, dan sayuran lagi, begitu seterusnya hingga terbentuk gunungan yang akhirnya ditutupi alang-alang pada bagian akhirnya. Di beberapa tempat yang sudah dekat kota biasanya dilapisi lagi dengan terpal pada bagian akhirnya. Terpal menahan panas untuk tetap di dalam sehingga mempercepat proses kematangan bahan-bahan yang ada. Proses memasak yang dulu bisa sampai 4 – 5 jam bisa dipersingkat menjadi 2 -3 jam dengan bantuan terpal ini.
Bakar batu pada awal sejarahnya merupakan bagian ritual adat untuk merayakan hal-hal seperti kelahiran, kematian, pembuatan honai (rumah khas Wamena), mengumpulkan orang untuk bersama-sama membuka kebun baru, dan hal lain yang berhubungan dengan kehidupan dan penghidupan di satu osili (semacam kampong kecil). Dengan perkembangan jaman, bakar batu tak hanya dilakukan untuk hal-hal tersebut tetapi menjadi meluas. Bakar batu sering dilakukan dalam banyak acara lain selain ritual adat. Bahkan ketika pemilihan legislative (anggota dewan) dan executive (kepala daerah) beberapa waktu lalu, bakar batu menjadi sarana yang cukup ampuh dalam “menyedot” massa untuk kampanye.
Terlepas dari untuk apa tujuan bakar batu itu, yang pasti saya sangat menggemarinya. Saya masih ingat betapa empuknya ubi jalar yang matang hingga ke dalam walaupun ukurannya cukup besar (ubi jalar di Wamena bisa berdiameter 20 cm atau bahkan lebih), betapa renyahnya daging ayam bak dimasak dengan teknik presto “tulang lunak”, dan nikmatnya sambal dabu-dabu sebagai pelengkap penambah kenikmatan menyantap bakar batu. Untuk sambal dabu-dabu ini, ada karena pengaruh pendatang karena jika kita menyantap bakar batu di daerah yang benar-benar pedalaman maka kita tak akan menemukan adanya sambal apalagi sambal dabu-dabu. Dengan bakar batu ternyata semua kandungan nutrisi dalam bahan-bahannya tertahan tetap dalam bahan-bahan tersebut. Kalau ubi direbus misalnya, ada zat yang terlarut dalam air. Jika dibakar atau dimasak dengan oven, biasanya bagian luarnya gosong sementara bagian dalam belum matang. Bakar batu membuat ubi jalar sebesar apapun matang hingga ke dalam. Batu-batu panas memasak semua bahan perlahan-lahan hingga matang seluruhnya. Proses mematangkan ini biasanya memakan waktu cukup lama, bisa 2 hingga 3 jam semenjak semua bahan dimasukkan ke dalam lubang.
Coba kita perhatikan kandungan nutrisi ubi jalar ini yang tetap dipertahankan dalam hidangan bakar batu: (per 100 gram) protein 1,8 gram, lemak 0,7 gram, karbohidrat 27,9 gram, mineral 49 mg, yang tak kalah penting adalah kandungan vitamin A (retinol) sebesar 2000 mcg dan vitamin C sekitar 20 mg serta tidak mengandung kolesterol.
Dengan kandungan nutrisi sedemikian, ubi jalar dipercaya bisa membantu meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, anti radang, membantu penyembuhan bronchitis dan arthritis, serta baik untuk penderita diabetes dan sering digunakan dalam program penambahan berat badan.
Daging sendiri, entah jenis daging mana yang digunakan dalam hidangan bakar batu adalah sumber protein hewani bermutu tinggi yang perlu dikonsumsi oleh setiap orang. Jika kita kebetulan mendapatkan bakar batu dengan menggunakan daging kelinci maka itu jauh lebih baik. Daging kelinci berserat halus dan mempunyai warna sedikit pucat sehingga dapat dikelompokkan dalam golongan daging berwarna putih seperti daging ayam. Daging putih mempunyai kadar lemak rendah dan glikogen yang tinggi. Selain itu daging kelinci mempunyai kandungan kolesterol dan natrium yang rendah sehingga aman dikonsumsi oleh orang berpenyakit jantung, usia lanjut, dan mereka yang mempunyai masalah dengan berat badan. Selain itu ada manfaat lain daging kelinci, antara lain: menurunkan kolesterol, meningkatkan kesuburan, dan bisa untuk membantu penderita asma.
Wah cerita terus nih..kapan makannya? Saya teringat waktu itu, setelah lama menunggu (sekitar 3 jam) akhirnya saya dan teman-teman disuguhi hidangan bakar batu (lihat gambar). Kepingin mencoba? Datanglah ke Wamena (sekitar awal Agustus setiap tahunnya ada Festival Lembah Baliem yang pasti ada bakar batunya) dan buktikan sendiri!
Rachmat Willy
23 Oct 2012 13:16
@Rikardo Kaway Biasanya untuk bakar batu dalam upacara adat digunakan daging babi. Orang di sana menyebutnya daging wam. Namun saat ini juga sering digunakan daging ayam (biasanya ayam yang sudah di es kan), daging kelinci, dan bahkan sudah bisa ditemukan bakar batu yang sudah menggunakan daging sapi atau bahkan ikan mas. Trims untuk comment nya. Salam.
Rachmat Willy
18 Oct 2012 10:18
trims.. sudah dishare ya..
Rikardo Kaway
23 Oct 2012 01:56
"Daging sendiri, entah jenis daging mana yang digunakan dalam hidangan" Ciyus nih gak tau itu daging apa? :D
Nutrisi Bangsa
08 Oct 2012 11:46
Menarik sekali tradisi ini... Sayang kalau sampai hilang ya... Oiya, jangan lupa share di FB dan twitter yaaaa :)