Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 Oct 2019
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 22 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 21 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 20 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 Nov 2017
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 13 May 2016
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 28 Apr 2016
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 06 Aug 2015
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 30 Mar 2017
Oleh Putri Ayu Ningrat 27 Mar 2017
Oleh Dewi Kartika Rahmayanti 27 Mar 2017
Oleh Nurhidayat 27 Mar 2017
Oleh Virgorini Dwi Fatayati 27 Mar 2017
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 24 Jul 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 09 Jul 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 05 Jun 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 11 May 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 May 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 05 Nov 2015
Oleh Sofi Mahfudz 18 Oct 2015
Oleh Nutrisi Bangsa 20 Jan 2015
Oleh Nutrisi Bangsa 11 Nov 2014
Oleh Nutrisi Bangsa 14 Jul 2014
Tanya Ahli
Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.
Pesta Ikan Deho di Tepi Jalan Pesisir Teluk Buyat
Oleh Ang Tek Khun 06 Nov 2016
Surga tak selalu berada di bawah telapak kaki ibu. Meskipun Muchsin Alatas menyanyikan lagu ini dengan penuh perasaan dan mengalirkan liriknya dari setiap denyut jantung, saya tetap ingin memejamkan mata dan meresapi fakta bahwa di tanah Minahasa, surga itu ada di sekeliling lidah—indra pengecap kita.
Racikan rempah yang melahirkan beragam citarasa, membuat apa pun yang disergap oleh bumbu masak khas Minahasa, akan melambungkan cecap kita hingga mata binar dan bibir semringah. Ya, apa pun. Maka, tak terbantahkan bahwa di tanah Nyiur Melambai itu, terentang santapan yang menggiurkan sejak dari kuliner “santun” hingga olahan masakan “ekstrem”.
Jika fakta itu adalah “Romeo”, maka kekayaan hasil laut yang melimpah adalah “Juliet” yang berpadu menghadirkan Minahasa sebagai tanah surga untuk merayakan pesta bagi lidah kita. Beragam jenis olahan khas dari pucuk utara pulau Sulawesi ini telah merasuk hingga ke singgasana tertinggi pilihan rasa warga di tanah air dan diaspora Indonesia.
Namun kisah tentang kuliner Manado/Minahasa tak melulu cerita mainstream yang itu-itu dan dengan rujukan stereotipe. Ada kisah lain, tentang olahan sederhana di tepi jalan di tanah itu, yang tak kehilangan magic untuk memikat lidah.
Kisah Anti-mainstream dari Pesisir Sana
Komunitas BatuHijauBootcamp telah mengantar kami mendarat di Manado dan menempuh ratusan kilometer dalam perjalanan darat untuk menukik hingga tiba di Teluk Buyat. Selama beberapa hari, lidah saya telah dibuai oleh berbagai penganan dan masakan khas setempat di sana. Semua akan tampak berakhir di dapur dan meja makan, hingga suatu hari kami menjelalah jalanan.
Mentari mulai bergerak ke Barat saat kami berkendara menyusuri jalanan yang membelah rumah-rumah penduduk. Senja belum tiba di Teluk Buyat ketika kepulan asap meninggi menghentikan laju kendaraan kami.
Sejauh mata mendekat, tampaklah di pelataran tanah samping sebuah rumah nelayan, kami menjumpai pemandangan yang menakjubkan. Jajaran ikan bersanding rapat, berbaris dalam saf-saf yang rapi, sedang dibakar menggunakan sabut kelapa.
Asap yang membubung mengirimkan undangan bagi kaki kami untuk menghampirinya. Naluri memotret untuk diunggah ke media sosial membuncah. Lalu lahirlah percakapan dengan seorang lelaki yang rajin mengatur bara api agar terpelihara nyala dan sebarannya.
Deho: Ketika Ikan Tongkol Masih Remaja
Para nelayan telah pulang melaut dan membawa sejumlah berkah melimpah dari laut di sisi tenggara semenanjung Sulawesi belahan utara yang menghadap Laut Maluku. Di sini, untuk pertama kalinya saya jumpa dengan ikan-ikan yang mereka panggil Deho.
Menelisik sosoknya, itulah jenis ikan tongkol dalam usia masih remaja. Bagian dari keluarga besar ikan tuna ini menampakkan wajah khas: bermoncong runcing, bermata delik.
Ikan-ikan Deho ini langsung dibakar, untuk kemudian dijual ke pasar. Bagian lain hasil tangkapan nelayan ini, dipertahankan sebagai ikan mentah dan disimpan dengan bantuan es batu sebagai pengawet.
Menari Dalam Tarian Lidah
Usai kamera kami melahap banyak objek hingga puas, dan sesudah pendengaran kami dihiasi berbagai kisah tentang ikan Deho dan kehidupan sesehari nelayan di sini, tiba giliran lidah kami menagih cecap. Maka, ketika ikan-ikan Deho itu telah matang, tak seorang pun mampu memelihara tingkah santun untuk tak berebut dan menyantap ikan-ikan remaja itu.
Dengan bermodalkan piring plastik dan racikan sambal tomat ala Minahasa, jari-jemari kami dengan brutal menjemput daging ikan Deho itu. Manis tercecap, itulah yang tak mampu diingkari lidah saat menari-nari bahagia.
Sambil berdiri di pekarangan dan tepi jalan, tba-tiba kami menjadi bagian dari orang yang paling bahagia di muka bumi ini. Segar sambal dan ikan-ikan Deho dalam semai perasan jeruk, melambungkan liur kami tak henti.
Di setiap piring kami, tak seorang pun rela menyisihkan tempat bagi sejumput nasi putih. Hingga tercatat di sisa pesta, setiap kami trengginas menghabiskan dua hingga tiga ekor ikan Deho, saat jam makan malam masih di depan.
Di hari menjelang senja itu, ketika perjalanan pulang, saya merentangkan tangan meluapkan bahagia.