Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 29 Nov 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 23 Nov 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 19 Nov 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 12 Nov 2021
Tanya Ahli
Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.
Role Model itu Bernama Ibuku
Oleh Nurul Rahmawati 11 Oct 2013
Kalau ada yang bertanya siapa perempuan terkuat di dunia, tentu aku akan menjawab dengan lantang: Ibuku. Tak pernah kudengar sepenggal keluhan yang terlontar dari bibirnya. Duka-nestapa separah apapun senantiasa ia telan sendirian. Tak pernah kulihat bias lara di mata indahnya. Mata itu selalu pancarkan inspirasi sekaligus motivasi untuk mau berbuat kebaikan dari hari-ke-hari. Pun, tak kulihat air mata yang mengucur deras, tatkala ia harus ditinggalkan oleh suaminya.
“Relakan Bapak pergi ya Nak… InsyaAllah Bapak masuk surga, dan ia akan bahagia berada di sana…” Ibu berucap dengan suara bergetar. Seolah menahan air mata yang nyaris tumpah, Ibu memagari dirinya dengan ketegaran yang mengerikan.
Aku masih kelas 4 SD, kala itu. Ketika tiba-tiba duniaku berubah. Tak ada lagi sosok ayah. Kini tinggal aku, kakakku dan ibuku. Tentu kami terhanyut dalam kepiluan yang menggelayut. Aku menangis kencang. Terbayang fragmen-fragmen indah, yang kami lalui berempat. Dan kini, salah satu dari kami harus berpulang. Tapi, ibu hadir untuk menguatkan jiwa. ”Sabar ya Nak… insyaAllah, setiap peristiwa yang kita alami, sepahit apapun, yakinlah, bahwa Allah PASTI memberikan yang terbaik untuk kita…”
Saya selalu ingat setiap serpihan kalimat yang meluncur darinya. Segumpal kata yang sarat makna. Seutas diksi yang membekas di hati. Setiap melihat sorot matanya, yang begitu tangguh dan berani—kalau tak boleh dibilang nekad—nyali saya langsung bangkit. Tak mau saya jadi pecundang, yang terus merutuki nasib. Tak rela saya jadi perempuan menye-menye, yang gampang terperosok dalam sedih tak berujung. Saya mau TEGAR. Saya ingin BANGKIT.
“Kalau saat ayah meninggal, ibu menangis kencang, barangkali saat ini saya tumbuh menjadi perempuan yang rapuh.” Suatu sore yang cerah. Seperti biasa, kami minum teh, sambil menikmati gorengan. Berdua.
“Kenapa begitu?”
“Ya, karena Ibu adalah role model buatku. Ibu itu panutanku. Waktu itu, aku mau nangis dan protes sama Tuhan. Kenapa ayahku yang begitu baik malah meninggal? Kenapa aku yang masih sekecil itu malah dibikin nggak punya ayah? Tapi, gara-gara lihat Ibu, aku malu kalau nangis. Wong Ibu nggak nangis, ya sudah, aku juga brenti deh, nangisnya.”
Setengah dipaksa, bibir Ibu mengukir senyum. ”Kamu ini bisaaaa aja!”
As a single parent, Ibu tentu harus jungkir balik menghidupi kami berdua. Syukur Alhamdulillah, Ibu bekerja sebagai guru. Saat itu, tahun 1990-an, gaji guru jelas jauh dari cukup. Alih-alih mengeluh (dan sudah kubilang kalau ibuku bukan tipikal pengumbar keluh) Ibu “menjerumuskan” dirinya untuk jadi bakul dadakan. Beliau jualan daster, alat-alat masak, terima order nasi rantangan, macam-macam!
“Ibu pulang kerja, langsung ke pasar turi, kulakan barang. Emangnya nggak capek Bu?”
“Nggak. Kalau semua dilakukan demi cinta, nggak bakal ada kata capek.”
Ia menjawab sambil tersenyum. Ikhlas. Damai. ”Ibu ingin kamu dan kakakmu bisa belajar di sekolah yang bagus. Biar kalian bisa belajar dengan senang.”
Pada akhirnya, aku belajar, bahwa untuk survive menjalani hidup, kita hanya perlu berbekal syukur dalam volume yang tak berhingga. Dan itu semua, kupelajari dari ibuku.