Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 27 Nov 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 27 Oct 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 16 Oct 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 22 Jan 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 14 May 2020
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 02 May 2020
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 02 May 2020
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 12 Jun 2019
Tanya Ahli
Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.
Terdidik Oleh Bukan Ibu yang Baik
Oleh Boneka Lilin 21 Oct 2013
Saat kecil, tak terhitung berapa kali jumlahnya aku berandai-andai memiliki Ibu seperti ibu-ibu teman-temanku. Yang selalu memanjakan, tidak pernah marah, jarang menyuruh, dan mengabulkan setiap permintaan. Kadang-kadang aku pun berpikir, jangan-jangan sebenarnya aku bukan anak kandung ibuku. :O
Hal tersebut kurasa wajar sempat terlintas di otak kecilku, karena metode pengasuhan—oh, maaf, mungkin penggemblengan yang lebih tepatnya—Ibu cukup keras dan minim toleransi. Sejak masih berusia sekitar 5 tahun, aku harus mencari sarapan sendiri. Jika enggan mencari, maka jangan harap bisa sarapan pagi. Ibu hanya memberi uang untuk kami—aku, kakak, dan adikku—membeli sarapan masing-masing, dan menerapkan larangan keras untuk menitip atau menerima titipan membeli sarapan satu sama lain.
Beranjak sedikit besar batang usiaku yang mulai memasuki usia sekolah dasar. Ketika teman-temanku bisa puas berjajan ria dengan uang saku Rp1.000,-, dengan teganya Ibu hanya memberiku uang saku Rp300,- dan masih sempat-sempatnya memintaku untuk menabung! Ibu membuatkan celengan dari bambu, kemudian Ibu menyuruhku untuk menggambar dan mewarnai celengan bambu itu dengan menggunakan cat kayu warna biru sisa mengecat pintu dan jendela. Hal itu dilakukan karena aku merengek minta dibelikan celengan bagus seperti milik teman-temanku, celengan bergambar boneka dan ada kuncinya. Kata Ibu, celenganku lebih aman karena sudah terkunci otomatis. Padahal aku tau itu karena Ibu pelit kalau harus membelikanku celengan baru.
Karena tak pernah bisa menyisakan uang jajan untuk mengisi celengan, aku pun mengeluh pada Ibu, memintanya untuk menaikkan uang sakuku menjadi—paling tidak—Rp500,- agar aku masih memiliki uang lebih untuk kulesakkan ke dalam bambu berwarna itu. Namun bukan ibuku jika mau berbaik hati meloloskan mauku. Lagi-lagi, dengan teganya Ibu malah mempekerjakanku. Bayangkan! Anak kecil yang masih berusia sekitar 7 tahun, tapi sudah dipekerjakan oleh orang dewasa yang mirisnya adalah ibunya sendiri! Jika saja saat itu aku sudah sedikit pintar seperti sekarang, mungkin aku akan melaporkan Ibu pada Kak Seto dengan tuduhan eksploitasi anak di bawah umur. Ibu mempekerjakanku layaknya pembantu; mencuci bekas makanku, mencuci sepatu dan tas sekolahku, membereskan kamarku, dan seabrek pekerjaan lain yang kalau teman-temanku pastinya yang mengerjakan adalah ibunya. Dari setiap pekerjaan yang bisa kuselesaikan, Ibu akan menggajiku dengan uang Rp300,- yang wajib dimasukkan langsung ke dalam celengan, aku tak bisa mengkorupsinya karena Ibu akan terus memerhatikanku sampai bunyi “klecrik” tanda koin beradu di dalam bambu terdengar.
Takkan cukup satu buku jika kukisahkan bagaimana kekejaman Ibu dalam menggemblengku sewaktu kecil. Namun berkat didikan seorang Ibu yang tak baik itu, harus kuakui adalah alasan terbesar kenapa aku bisa sampai seperti sekarang ini, menjadi seorang founder merangkap Direktur Utama di sebuah penerbitan buku indie milikku sendiri; Harfeey, sebuah nama yang dengan segala hormat kuambil dari singkatan nama kedua orangtuaku. Berharap perusahaan yang kubangun tepat saat usiaku menjejak pada angka 20 itu dapat tertular semangat kerja keras dan disiplin dalam meraih keinginan atas hasil jerih payah sendiri seperti mereka.
Jika Ibu memanjakanku dengan selalu menyediakan sarapan sejak dulu, atau membiarkan aku dan kedua saudaraku untuk silih bertukar shift dalam membeli sarapan, mungkin kini aku akan tumbuh menjadi anak mehe-mehe yang mudah terbawa arus. Sulit menentukan sikap dan hanya nyaman sebagai followers. Didikan Ibu meyakinkanku bahwa aku terlahir sebagai anak istimewa yang harus menggapai mimpi dari usaha kerasku sendiri, apa yang kudapat akan sangat bergantung dengan apa yang kuperbuat. Hingga akhirnya hal itu yang kemudian mendorongku untuk lebih memilih menjadi seorang entrepreneur muda, ketimbang bekerja di balik perintah teluntuk orang lain. Berapa pun gaji yang mereka tawarkan, aku lebih memilih untuk menjadi kepala teri, ketimbang ekor gajah. Karena Ibu membimbingku untuk percaya, aku bisa hidup di atas pijakan kakiku sendiri dan meyakini bahwa telunjukku tetap menjadi titah tertinggi dalam menentukan arah hidup bagi diriku.
Jika Ibu dengan instant-nya membelikanku celengan lucu bergambar boneka, maka aku takkan tumbuh menjadi seorang anak kreatif yang bisa dengan cukup jeli melihat peluang bisnis seperti sekarang ini. Yang ada, kemungkinan aku akan menjadi anak instant yang hanya mengandalkan uang untuk menggapai apa yang kuimpikan. Ibu mengajarkanku tentang kreatifitas, tentang sesuatu yang hanya bisa dihasilkan dari buah kerjaku sendiri; kepuasan. Dan didikan Ibu telah menggiringku menjadi seorang pebisnis muda yang kreatif dan kerap bisa memanfaatkan peluang dengan baik. Aku menghindarkan diriku dari mental seorang followers, dan untuk beberapa hal aku cukup bisa menjadi seorang trendsetter di bidang bisnisku.
Jika Ibu tak bersikap jahat dengan menjadikanku selayaknya babu hanya untuk mendapatkan uang demi bisa mengisi celenganku, mungkin aku takkan pernah tau bagaimana wujud nyata dari kerja keras. Di mana seseorang harus berusaha untuk hidup, bukan hidup untuk berusaha. Ibu menghantarku menjadi pribadi pekerja keras, aku harus menetekan keringatku sendiri jika ingin mendapatkan apa yang menjadi keinginan. Dan buah dari lelah tak pernah mengecewakan.
Itulah ibuku, seseorang yang tak layak mendapat predikat ibu yang baik, karena Ibu sama sekali tak memperlakukan aku kecil dengan baik. Namun Ibu adalah seorang ibu yang benar, karena dia menunjukkan jalan yang tak salah untukku bisa kuat menapakkan kaki-kaki mungilku di panggung bernama kehidupan. Ibu tidak memberiku ikan sebagai bekal, tapi pancing sebagai alat untuk mencari bekal.
Dan atas segala didikan keras nan tegasnya, kuabadikan sosok dia ke dalam sebuah buku kisah inspiratif yang cover-nya kuambil secara diam-diam saat Ibu yang tak lagi muda, namun tetap semangat bekerja keras untuk hidup meski Ibu telah cukup berhasil menjadikanku seorang “anak kecil” berpenghasilan rata-rata 5-8 juta rupiah hanya dengan bekerja di balik balutan selimut kumal, di depan sebuah layar 10 inc. Inilah ibuku, bukan termasuk kategori Ibu yang baik, namun seorang Ibu yang luar biasa benar dengan segala prindip pola pendidikan yang diterapkan terhadap anak-anaknya. Kami tumbuh menjadi anak yang siap untuk hidup, berkat kekejaman perempuan ini… Sang Pijar Heroik.