Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 Oct 2019
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 22 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 21 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 20 Apr 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 Nov 2017
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 13 May 2016
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 28 Apr 2016
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 06 Aug 2015
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 30 Mar 2017
Oleh Putri Ayu Ningrat 27 Mar 2017
Oleh Dewi Kartika Rahmayanti 27 Mar 2017
Oleh Nurhidayat 27 Mar 2017
Oleh Virgorini Dwi Fatayati 27 Mar 2017
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 24 Jul 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 09 Jul 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 05 Jun 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 11 May 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 07 May 2018
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 05 Nov 2015
Oleh Sofi Mahfudz 18 Oct 2015
Oleh Nutrisi Bangsa 20 Jan 2015
Oleh Nutrisi Bangsa 11 Nov 2014
Oleh Nutrisi Bangsa 14 Jul 2014
Tanya Ahli
Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.
Warga Gunungkidul Bertahan Dalam Keterbatasan
Oleh Muhammad Zamroni 12 Nov 2012
Meski berada dalam keterbatasan, masyarakat Gunungkidul, Yogyakarta tetap bertahan. Mereka bahkan membuat inovasi untuk meningkatkan kesejahteraan, dengan cara yang “nampak” sederhana.
Tim Nutritalk Jelajah Gizi Sarihusada mengunjungi dua lokasi yang telah berhasil mengubah nasib masyarakatnya, dari yang serba terbatas menjadi lebih baik. Kedua tempat ini adalah Desa Sambirejo, Ngawen dan Dusun Bobung, Desa Putat, Pathuk, Gunungkidul, Yogyakarta.
Air Bersih, Sumber Kehidupan Desa Sambirejo
Desa Sambirejo awalnya mengalami kesulitan air bersih sepanjang tahun. Sumur-sumur tidak berfungsi karena terdapat batu padas yang membuat air tanah tidak dapat ditarik ke permukaan. Karenanya, biaya pengeboran sumur mahal.
Penduduk desa menggantungkan kebutuhan air bersihnya pada sebuah mata air yang lokasinya cukup jauh. Penduduk harus berjalan dan membawa sendiri air-air yang telah diambil pada jirigen-jirigen.
Pada musim kemarau, mata air pun menurun debitnya. Tak jarang antar warga berdebat karena rebutan jatah air.
Hingga pada tahun 2004, Liestiyani Ritawati bertugas sebagai bidan datang ke Desa Sambirejo. Pertama kali datang, dia merasa sedih karena kondisi geografis Gunungkidul yang kesulitan air berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kondisi dari tempat asalnya Temanggung yang memiliki air berlimpah.
Sebagai bidan, Bu Liestiyani sangat membutuhkan air bersih, terutama untuk persalinan. Selain itu, air bersih adalah kebutuhan dasar manusia yang tentunya akan menunjang kesehatan warga.
Tahun 2009, Bu Liestiyani mengajukan proposal pembuatan sumur bor pada acara Gelar Karya Pemberdayaan Masyarakat (GKPM) yang diadakan oleh Sarihusada karena ongkos pembuatan sumur bor sangat mahal.
Biaya pembuatan sumur di Desa Sambirejo, per meter menghabiskan biaya satu juta rupiah. Padahal dibutuhkan sumur sedalam 60-80 meter.
Atas ide dan prakarsanya inilah, Bidan Liestiyani Ritawati memperoleh Srikandi Award 2009 untuk kategori perorangan, selain bantuan dana untuk membangun sumur bor.
Sumur bor ini awalnya digunakan untuk kebutuhan klinik, namun kemudian didistribusikan ke warga desa. Untuk operasional dibuatlah semacam “perusahaan” untuk pengelolaan, dengan nama Tirta Murti.
Penduduk dikenakan biaya beban Rp 2.500 dan biaya per meter kubik air Rp 2.000. Penggunaan paling besar menurut pengakuan salah seorang warga, Rp 20.000-Rp 25.000 per bulan. Ada 157 KK yang berlangganan air bersih Tirta Murti.
Sebagai cadangan, di samping mata air yang lama dibangun pula sumur tadah hujan. Mata air yang lama, sejak gempa melanda Yogyakarta tahun 2006, berhenti mengeluarkan air. Air dari sumur tadah hujan ini pun jernih dan bisa digunakan warga untuk memenuhi kebutuhannnya.
Kerajinan Kayu, Sumber Kehidupan Dusun Bobung
Dusun Bobung, Putat, Pathuk, Gunungkidul berbeda lagi. Seluruh warganya menggantungkan hidupnya dari kerajinan kayu yang dimulai sejak tahun 1970-an.
Terdapat 400 pengrajin pria dan wanita yang sehari-hari mengolah kayu sengon (Parasirianthes falcataria) dan pule (Alstonia scholaris) menjadi kerajinan yang layak jual dan bernilai tinggi. Kedua tanaman ini memang banyak ditemukan di daerah berkontur gersang.
Selain pohon sengon dan pule mudah dibudidayakan, ada aturan bagi warga bila menebang satu pohon maka ia wajib menanam 10 pohon. Ini untuk menjaga kelestarian dan ketersediaan bahan baku.
Kayu sengon dan pule memang terkenal mudah dibentuk, serta kuat. Bahkan kulit pohon pule juga dikenal sebagai obat, dengan cara diramu menjadi jamu tradisional.
Proses awal kerajinan mulai dari memotong kayu, membentuk, dan mengukir, dilakukan oleh kaum pria. Perempuan melakukan proses akhir, yaitu melakukan pengamplasan, dan pewarnaan.
Tradisi mengukir kayu warga Dusun Bobung diawali dari seni tari topeng yang berkembang di dusun ini. Namun lama kelamaan tari topeng mulai menyusut. Takut keahlian membuat topeng memudar, dua orang warga, Sujiran dan Tukiran belajar membuat topeng dan kemudian menularkan keahliannya ke warga desa.
Kini tidak hanya topeng kayu yang dihasilkan oleh warga Dusun Bobung, berbagai kerajinan semacam gelang, pajangan, hingga papan permainan dakon (congklak) pun ada.
Hasil kerajinan ini kemudian disalurkan ke toko-toko cinderamata di Yogyakarta. Tak jarang pula, pesanan dari Jakarta juga diterima warga melalui koperasi yang dibangun untuk menaungi para pengrajin.
Tim Jelajah Gizi mendatangi desa ini selain melihat proses pembuatan kerajinan juga mendatangi posyandu dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Prasojo. Posyandu dan PAUD ini merupakan salah satu binaan dari PT Sarihusada.
Nutrisi Bangsa
12 Nov 2012 13:54
Selalu terharu membaca cerita tentang bidan Listyani. Terima kasih ya.. Oiya, jangan lupa kirim linknya ke admin@nutrisiuntukbangsa.org ya