Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 27 Nov 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 27 Oct 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 16 Oct 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 22 Jan 2021
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 14 May 2020
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 02 May 2020
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 02 May 2020
Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 12 Jun 2019
Tanya Ahli
Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.
Bunda itu Patron Bagi Keluarganya
Oleh ventura elisawati 05 Mar 2012
Suatu malam sepulang kantor, anak lanang menyambut dengan menawarkan segelas coklat. “Minum susu atau coklat jelang tidur akan membuat tidur kita nyenyak,” katanya. Lho? Itu kan kata-kata saya ketika mulai biasakan dia minum susu sebelum tidur, yang rupanya sudah menjadi tips dia untuk saya. Senjata makan tuan deh.
Begitulah, tanpa disadari anak-anak mengkopas (copy paste) apa yang dilakukan, dikatakan orang tuanya—terutama bundanya—yang kerap lebih dekat dengan anak-anaknya. Jika bunda gemar baca sambil tidur, maka tak bisa dihindari anakpun akan lakukan hal yang sama. Bila bunda gemar makan sayur, maka diharapkan anak-anakpun akan mengikuti. So, bunda menerapkan hidup sehat, dan keluargapun akan turut hidup sehat. Karena, ibaratnya bunda adalah patron bagi anak-anaknya.
Mudah ya mengatakannya, tapi jujur sih tak mudah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di era digital ini dimana peran bunda tak hanya sebagai ibu rumah tangga, yang diam di rumah, memasak, sambil menunggu suami dan anak-anaknya. Bunda, kini, juga turut membantu mencari nafkah bagi keluarga, yang harus beraktifitas di luar rumah.
Bagaimana bunda di era sekarang ini tetap bisa menjadi patron bagi keluarganya? Tentu lebih susah dan perlu komitmen. Banyak buku, majalah atau tautan di internet yang membahas tentang hidup sehat, yang bisa kita jadikan referensi. Bagi saya, sehat itu jika saya bisa menyeimbangkan sejumlah aspek penting dalam hidup saya, yakni sebagai perempuan, memutuskan berkarier, menikah punya anak, dan hidup di kota metropolitan seperti Jakarta.
Pertama, menetapkan standar sehat yang masuk akal dan bisa dijangkau oleh kami. Sehat fisik tentu bersumber dari asupan gizi dan olah raga yang cukup. Jika saya ingin anak-anak suka makan ikan, maka secara regular memasukkan dalam menu makan keluarga, dan sayapun akan lahap menikmatinya. sambil memperkenalkan manfaat dari makanan ini. Demikian pula memperkenalkan dan mengajaknya untuk berbagi, peduli sesama. Olah ragapun tak perlu yang susah, cukup ajak bersepeda di saat akhir pekan. Atau sekedar olah raga bareng dengan alat-alat olah raga yang tersedia di rumah. Have fun bersama, sekaligus memberi contoh, tanpa harus memaksa.
Situasi di atas memang ideal jika kita punya banyak waktu untuk menemani anak-anak beraktifitas. Sayangnya, kondisi bunda saat ini tidak demikian. Maka, hal kedua, adalah penting kita memiliki seseorang atau asisten atau apapun namanya, di rumah, yang bisa kita andalkan. Memastikan ada makanan sehat tersedia, dan mengawasi penerapan aturan-aturan yang ada di rumah itu.
Sejumlah pengaturan juga kami lakukan, dan disepakati bersama. Seperti, anak-anak hanya boleh bermain internet saat akhir pekan saja. Kecuali, jika anak harus mencari bahan untuk mengerjakan homework-nya. Untuk hal semacam ini, biasanya mereka akan menginformasikan ke kami bahwa akan akses internet untuk keperluan sekolah.
Untuk menjaga komunikasi, beruntung, saat ini, fasilitas komunikasi sudah cukup maju. Kita bisa menjadualkan komunikasi rutin, katakanlah 3 kali sehari. Jika kita pelupa – seperti saya—bisa dibuat “reminder” di hape atau blackberry kita. Mudah? Tidak juga, saat saya sedang sangat sibuk, alarm reminder berbunyi, terpaksa diabaikan. Namun, sebagai gantinya, sebelum jalan pulang, biasanya saya nelepon anak-anak: Hei bunda lagi mau jalan pulang, mau dibawain apa? Untuk menebus rasa bersalah.
Yang pasti, pengalaman saya menjadi bunda 2 orang anak, memang seperti menjadi patron. Anak anak meng-kopas gaya, perilaku, kebiasaan saya, kerap tanpa saya sadari. Tak jarang, saya terkaget-kaget melihat ulah dan tingkahnya, dan baru sadar bahwa itu ‘potret’ saya, ketika seseorang mengingatkannya, “that you”.